Saya seorang anak penjahit sekaligus petani yang hidup di kaki gunung sumbing. Kuliah merupakan mimpi saya, setiap ditanya saat masih SD saya selalu menjawab ingin kuliah. Namun mimpi itu hampir sirna ketika akhirnya saya menyadari kebenaran apa yang orang-orang di sekeliling sampaikan bahwa saya tidak pantas untuk kuliah. Hal itulah yang akhirnya membuat saya masuk SMK agar bisa cepat kerja demi membantu ekonomi keluarga. Tetapi perahu masih berlabuh, muara ombak mengantarkannya pada tujuan yang lebih jauh. Informasi beasiswa bidikmisi membuat saya bergegas berjuang, hingga akhirnya dinyatakan diterima di Unnes. Momen mengharukan yang membuat saya dan ayah ibu menangis di Ramadhan 2012 kala itu.
Berliku namun penuh kejutan dariNya, proses belajar selama menjadi mahasiswa S1 sangat menarik. Keterbatasan tetap ada, namun bukan di sana poin fokus saya. Doa, usaha, berserah padaNya dan seperti itu terus diulang. Teman-teman yang baik dan terus menolong saya merupakan jawaban-jawaban KebesaranNya. Saya dulu tidak punya laptop dan motor, namun beruntung bisa ikut puluhan aktivitas kampus: organisasi, silaturahim, lomba, delegasi, bakti sosial, dan sebagainya. Bahkan saya pernah disebut tebengers dan bahkan pernah tahun 2015-2017 saya full dipinjami laptop oleh teman. Tidak ada nikmat yang bisa didustakan dan usaha maksimal selalu membuahkan hasil, hingga status mahasiswa berprestasi utama 2 tingkat Unnes 2015 dan lulusan terbaik 2 Unnes Oktober 2016 hadir dalam hidup saya. Bukan kehebatan saya, namun lingkungan yang terus mendukung dan baik terhadap saya. Saya pun semakin yakin bahwa rejeki itu luas, jika kita sadar dan mau mensyukurinya.
Seperti mimpi-mimpi yang saya yakini dan telah terwujud, saya meneruskan untuk bermimpi lebih tinggi lagi. Selepas lulus S1 berusaha mencari jalan lanjut kuliah S2, sembari meyakinkan keluarga di tengah kondisi yang masih seadanya. Bersyukur berkat restu orang tua akhirnya saya tahun 2017 dinyatakan lulus beasiswa LPDP afirmasi alumni bidikmisi. Saya semakin yakin bahwa selalu ada jalan jika kita berjuang. Kini keluarga dan lingkungan saya memahami bahwa ukurannya bukan hanya materi, namun ilmu pun anugerah yang luar biasa yang harus disyukuri.
Tidak pernah terbayang bagaimana rasanya menjadi mahasiswa pascasarjana UPI. Namun ternyata ini nyata, saya anak desa yang kini berjuang agar bisa “setara” seperti “mereka”. Hambatan-hambatan itu akan tetap ada, maka di sinilah tugas kita untuk bertahan dan bermimpi lebih tinggi lagi. Doa saya semoga semakin banyak teman seperjuangan, agar bisa saling membagi energi dan harapan bahwa KITA BISA.